Bacaan Ekaristi : Am. 8:4-7; Mzm. 113:1-2,4-6,7-8; 1Tim. 2:1-8; Luk. 16:1-13.
Saudara-saudari
terkasih,
Saya
sangat senang memimpin Ekaristi di Paroki Kepausan Santa Anna ini. Dengan penuh
rasa syukur saya menyapa para rohaniwan Agustinian yang melayani di sini,
terutama pastor paroki, Pastor Mario Millardi, serta Prior Jenderal Ordo yang
baru, yang hadir bersama kita hari ini, Pastor Joseph Farrell. Saya juga ingin
menyapa Pastor Gioele Schiavella, yang baru saja merayakan usianya yang ke-103
tahun.
Gereja
ini berdiri di lokasi yang istimewa, yang juga menjadi kunci bagi pelayanan
pastoral yang dijalankan di sana: kita, bisa dikatakan, berada "di
perbatasan," dan hampir semua orang yang masuk dan keluar Kota Vatikan
melewati Gereja Santa Anna. Ada yang datang untuk bekerja, ada yang datang
sebagai tamu atau peziarah, ada yang terburu-buru, ada yang datang dengan cemas
atau dengan tenang. Semoga setiap orang mengalami di sini ada pintu dan hati
yang terbuka untuk berdoa, mendengarkan, dan beramal!
Dalam
hal ini, Bacaan Injil yang baru saja diwartakan menantang kita untuk secara
saksama memeriksa hubungan kita dengan Allah dan, oleh karena itu, dengan satu
sama lain. Yesus menyajikan alternatif yang tegas antara Allah dan kekayaan,
meminta kita untuk mengambil posisi yang jelas dan masuk akal. "Seorang
hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan," oleh karena itu, "kamu
tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon" (bdk. Luk 16:13). Ini
bukanlah pilihan yang bersifat kebetulan, seperti banyak pilihan lainnya, juga
bukan pilihan yang dapat diubah seiring waktu, tergantung situasinya. Kita
perlu memutuskan gaya hidup yang sejati. Tentang memilih di mana kita akan
menempatkan hati kita, memperjelas siapa yang kita kasihi dengan tulus, siapa
yang kita layani dengan penuh dedikasi, dan apa yang benar-benar menjadi
kebaikan kita.
Inilah
sebabnya Yesus membandingkan kekayaan dengan Tuhan: Tuhan berbicara demikian
karena Ia tahu kita adalah makhluk yang berkekurangan, hidup kita penuh dengan
kebutuhan. Sejak kita lahir, miskin dan telanjang, kita semua membutuhkan
perhatian dan kasih sayang, rumah, pangan, sandang. Rasa haus akan kekayaan
berisiko menggantikan Tuhan di hati kita ketika kita percaya itu akan
menyelamatkan hidup kita, sebagaimana diyakini oleh bendahara yang tidak jujur dalam perumpamaan
(bdk. Luk 16:3-7). Inilah godaannya: berpikir bahwa tanpa Tuhan kita masih bisa
hidup dengan baik, sementara tanpa kekayaan kita akan sedih dan tersiksa oleh
ribuan kebutuhan. Dihadapkan dengan ujian kebutuhan, kita merasa terancam,
tetapi alih-alih meminta bantuan dengan percaya dan berbagi dalam persaudaraan,
kita dituntun untuk mencari-cari, menimbun, menjadi curiga dan tidak percaya
kepada orang lain.
Pikiran
ini mengubah sesama kita menjadi pesaing, saingan, atau seseorang yang dapat
dieksploitasi. Sebagaimana diperingatkan Nabi Amos, mereka yang ingin menjadikan
kekayaan sebagai alat dominasi berhasrat untuk "membeli orang lemah karena
uang" (Am 8:6), mengeksploitasi kemiskinan mereka. Sebaliknya, Allah
mengalokasikan kekayaan ciptaan kepada setiap orang. Kebutuhan kita sebagai
makhluk ciptaan dengan demikian membuktikan sebuah janji dan ikatan, yang
diperhatikan Tuhan secara pribadi. Pemazmur menggambarkan gaya pemeliharaan-Nya
ini: Allah "melihat ke langit dan ke bumi"; Ia "menegakkan orang
yang hina dari dalam debu dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur"
(Mzm. 113:6-7). Beginilah cara Bapa yang baik bertindak, senantiasa dan
terhadap setiap orang: tidak hanya terhadap mereka yang miskin dalam hal-hal
duniawi, tetapi juga terhadap kesengsaraan rohani dan moral yang menimpa mereka
yang berkuasa maupun yang lemah, yang miskin maupun yang kaya.
Sabda
Tuhan, sesungguhnya, tidak mengadu domba manusia dalam kelas-kelas yang
bersaing, melainkan mendorong setiap orang untuk melakukan revolusi batin,
pertobatan yang dimulai dari hati. Tangan kita akan terbuka: memberi, bukan
menerima. Pikiran kita akan terbuka: merencanakan masyarakat yang lebih baik,
bukan mencari keuntungan dengan harga terendah. Sebagaimana ditulis Santo
Paulus, "Pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa, doa
syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan semua
pembesar" (1 Tim 2:1). Hari ini, khususnya, Gereja berdoa agar para
pemimpin bangsa dibebaskan dari godaan untuk menggunakan kekayaan melawan
kemanusiaan, mengubahnya menjadi senjata yang menghancurkan rakyat dan monopoli
yang mempermalukan kaum buruh. Mereka yang melayani Tuhan terbebas dari
kekayaan, tetapi mereka yang melayani kekayaan tetap menjadi hambanya! Mereka
yang mencari keadilan mengubah kekayaan menjadi kebaikan bersama; mereka yang mencari
kekuasaan mengubah kebaikan bersama menjadi mangsa keserakahan mereka sendiri.
Kitab
Suci menjelaskan keterikatan pada harta benda ini, yang membingungkan hati kita
dan merusak masa depan kita.
Sahabat-sahabat
terkasih, saya berterima kasih atas kerjasamamu dalam berbagai cara untuk
menjaga komunitas paroki ini tetap hidup dan atas karya kerasulan yang murah
hati. Saya mendorongmu untuk bertekun dengan pengharapan di masa yang terancam
perang. Seluruh bangsa saat ini sedang ditindas oleh kekerasan dan terlebih
lagi oleh ketidakpedulian yang tak tahu malu, yang menjerumuskan mereka ke
dalam nasib sengsara. Menghadapi tragedi-tragedi ini, kita tidak ingin tunduk,
melainkan mewartakan dengan kata-kata dan perbuatan bahwa Yesus adalah
Juruselamat dunia, Dia yang membebaskan kita dari segala kejahatan. Semoga
Roh-Nya menobatkan hati kita sehingga, dengan dibina oleh Ekaristi, khazanah
tertinggi Gereja, kita dapat menjadi saksi kasih dan perdamaian.
______
(Peter Suriadi - Bogor, 22 September 2025)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.